JARGON SANG JENDRAL


                                     



“Ora Ngapak Ora kepenak” seru Sang jendral menutup Pidatonya. Ya ... Aku menyebutnya Jendral, seorang bertubuh Bongsor yang merupakan Ketua FORMASCAP UMY yang baru saja didemisonerkan itu. Seorang yang duduk tepat dibelakang saya kemudian berbisik kepada teman disebalahnya,

“Jadi ini teh Organisasi Ngapak ya.... abdi teh nyarios Sunda ? kenapa tidak diberinama FORMASNGACAP (Forum Mahasiswa Ngapak Cilacap) saja ?” Ucapnya pelan, tapi masih saja terdengar jelas ditelingaku

Meskipun seluruh wilayah di Kabupaten Cilacap secara administratif merupakan bagian dari Provinsi Jawa Tengah, tapi janga pernah berpikir bahwa itu bisa membuat seluruh Masyarakat di Kabupaten Cilacap memiliki bahasa Jawa sebagai  bahasa komunikasi sehari-hari. Meskipun mayoritas masyarakat Kabupaten Cilacap Menggunkan Bahasa Jawa ngapak layaknya Daerah – daerah Jawa tengah bagian barat lainnya — Namun sebagian Masyarakat  di Cilacap bagian Barat menggunakan bahasa sunda sebagai bahasa komunikasi sehari-hari. Misalnya di Kecamatan Majenang, Meskipun dibeberapa daerah dikecamatan tersebut masih menggunakan dialek ngapak sehari-hari tak jarang juga Masyarakat disana yang sudah menggunakan Bahasa Sunda. Jika kita berjalan lebih kebarat lagi sampai Kecamatan dayaluhur, disana seluruh masyarakat sudah menggunakan bahasa Sunda sebagai Bahasa sehari-hari. Bahkan, saya pernah berkunjung ke rumah seorang teman disana, dan saya sangat kesulitan berkomunikasi dengan mereka ketika mereka menggunakan bahasa sunda. Wajar saja, saya yang besar di Cilacap bagian timur masih sangat asing untuk memahami bahasa sunda yang menurut saya masih terlalu jarang saya dengarkan. Setelah dipikir-pikir kebragaman bahasa yang terjadi di Kabupaten Cilacap merupakan hal yang sangat wajar terjadi dikarenakan letak geografis kabupaten tersebut yang merupakan batas dari wilayah provinsi Jawa tengah dibagian selata yang berbatasan langsung dengan bumi pasundan.

Meskipun Keberagaman yang terjadi di Kabuaten Cilacap sudah terjadi sangat lama bahkan mungkin sejak jaman nenek moyang kita, namun pengetahan tentang keberagaman ini masih sangat minum diketahui oleh masyarakat umum. Bahkan menurut saya pribadi, Masyarakat Sunda di Jawa tengah  masih belum terlalu diakui  secara penuh Keberadaannya. Masih sangat kuat stigma yang terbangun dalam masyarakat bahwa “Jawa tengah adalah Etnis Jawa”.

Selain permasalahan Pengetahuan dari Masyarakat umum tentangkeberadaaan pengunaan bahasa Sunda diujung barat Jawa Tengah tersebut, muncul beberapa permasalahan yang timbul bagi masyarakat tersebut. Salah satunya adalah permasalahan aturan-aturan dari Pemerintah Provinsi Jawa tengah tentang penggunaan Bahasa Jawa sebagai Bahasa daerah resmi di Jawa Tengah.

Pada era pemerintahanan Gubernur Bibit Waluyo misalnya, muncul sebuah Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah No. 9 tahun 2012 tentang Bahasa,sastra dan aksara jawa. Tujuan dari Peraturan daerah tersebut adalah sebagai usaha untuk melestarikan Bahasa dan kebudayaan jawa di Provinsi Jawa Tengah. Dari peraturan tersebut,di Era kepemimpinan Gubernur Ganjar Pranowo kemudian muncul Peraturan Gubernur No. 57 tahun 2013. Dalam PERGUB  tersebut dijelaskan bahwa sekolah mengalkasikan jam pelajaran Bahasa Jawa. . Pasal 5 ayat 1 menyebutkan, "alokasi waktu pelajaran Bahasa Jawa sekurang-kurangnya 2 (dua) jam pelajaran setiap minggu, pada setiap tingkatan kelas". Jadi, Siswa/i  yang berbahasa Sunda didaerah Cilacap bagian barat harus mempelajari Bahasa Jawa yang mungkin belum mereka kuasai seperti Siswa/i di daerah lain di Jawa Tengah. Meskipun pada Pergub tersebut di pasal 13 ayat 2 dijelaskan  "dalam hal sekolah mengalami kesulitan dalam pelaksanaan pelajaran bahasa Jawa yang disebabkan faktor geografis dan sosiokultural, perlu upaya pengembangan untuk mengatasi kesulitan yang dialami" . Meskipun begitu, menurut saya Pasal tersebut kurang Fungsional dalam penerapannya.

Selain dibidang pendidikan, pada Pergub tersebut mengatur  penggunaan bahasa Jawa di di bidang Sosial masyarakat. Pada pasal 7 dijelaskan bahwa "Bahasa Jawa digunakan sebagai bahasa dalam informasi, komunikasi dan edukasi di masyarakat seperti dalam khotbah keagamaan, rapat-rapat RT/RW, lembaga-lembaga adat, kegiatan tradisi maupun organisasi kemasyarakatan".

Bahkan, pasal 7 itu kemudian ditambahi dalam Pergub baru yakni Pergub Jawa Tengah Nomor 55 tahun 2014 tentang Perubahan atas Peraturan Gubernur Jawa Tengah Nomor 57 Tahun 2013 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 9 Tahun 2012 tentang Bahasa, Sastra, dan Aksara Jawa. Pada Pergub tersebut muncul pasal 7A yang berbunyi, "Bahasa Jawa digunakan di lingkungan kerja instansi Pemerintah Provinsi Jawa Tengah dan Pemerintah Kabupaten/Kota serta instansi lain yang ada di Jawa Tengah pada situasi tidak resmi".Jadi, instansi pemerintahan di Cilacap bagian Barat, jika mengacu pada pasal  7A diminta menggunakan bahasa Jawa dalam situasi tidak resmi. Tentu sangat merepotkan.

Saya sendiri tak mengetahui lebih detail bagaimana pelaksanaan peraturan gubernur tersebut. Namun, menurut pengamatan yang saya ketahui pergub tersebut tidak benar-benar diberlakukan di daerah berbahasa sunda itu. Menurut saya pribadi saya setuju dengan kondisi yang demikian, menurut saya biarlah  Masyarakat Jawa tengah yang berbahasa Sunda harus dibiarkan demikian adanya dengan karakteristik yang telah timbul sejak lama. Ini merupakan salah satu keberagaman yang ada di Jawa Tengah sebagai kekayaaan daerah atas perbedaan bahasa dan kebudayaan.

 

 

Jika kita akan membahas suatu masalah yang terjadi diengah masyarakat, tentunya kita juga harus mencari tahu sejarah dan asal usul yang mengakibatkan hal itu terjadi. Begitu juga dengan jargon ini, “Bagaimana Asal – usul Jargon Ora Ngapak Ora Kepenak?”

Mungkin saya memulai dengan sebuah cerita dari Bagaimana proses terbentuknya Organisasi Mahasiswa daerah  (ORMADA) Cilacap di kota-kota besar diluar Kabupaten Cilacap? Pembentukan ORMADA Cilacap khususnya di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dilandasi oleh keresahan-keresahan yang dialami oleh beberapa Mahasiswa Asal Cilacap tentang penggunaan Bahasa Jawa Ngapak di jogja.

Seperti yang kita ketahui, Mayoritas Masyarakat Cilacap berkomunikasi dengan Bahasa Jawa Ngapak yang sangat berbeda dengan dialek Bahasa Jawa di daerah Jogja dan sekitarnya. Karena keunikan tersebut, ketika seorang Mahasiswa berdialek ngapak di jogja sering sekali “ditertawakan” oleh teman-teman diluar anak Cilacap. Hal ini wajar terjadi, karena mungkin orang-orang di Jogja memang jarang sekali mendengarkan dialek ngapak tersebut. Karena tertawaan yang didapatkan oleh Mahasiswa-mahasiswa ngapak, sebagian Mahasiswa Cilacap lambat laun agak enggan dan malu untuk berbahasa ngapak ketika berada di jogja meskipun sedang berkomunikasi sesama mahasiswa Asal Cilacap. Padahal menurut sebagian besar mahasiswa lain, Penertawaan tersebut menggambarkan keunikan dari dialek ngapak itu sendiri, dan perlu ditekankan lagi bahwa penggunaan bahasa ngapak merupakan upaya dari mahasiswa Cilacap khususnya dalam melestarikan budaya dan bahasa daerah. Oleh Karena itu, kemudian didirikan perkumpulan-perkumpulan mahasiswa Cilacap salah satunya FORMASCAP UMY.

Dengan dibentuknya Ormada-ormada Cilacap ternyata belum cukup efektif membuat Mahasiswa Cilacap memiliki kepercayaan diri untuk berdialek Ngapak. Untuk lebih meningkatkan kemauan Anggota untuk berbahasa ngapak kemudian muncul sebuah  jargon “ Ora Ngapak, Dupak” yang merupakan sebuah penekanan supaya Mahasiswa Cilacap mau dan bangga berbahasa ngapak. Dari  jargon tersebut, kemudian diperhalus lagi menjadi ”Ora Ngapak Ora Kepenak”. Selain itu, muncul gagasan tentang Sumpah Mahasiswa Cilacap yang berbunyi “Satu Nusa, Nusa, Nusa kambangan. Satu Bangsa, Bangsa Cilacap. Satu Bahasa, Bahasa Ngapak” dengan tujuan meningkatkan kecintaan pada daerah asal yaitu kabupaten Cilacap.

Berawal dari keresaahan maslah penggunaan dialek Ngapak, kemudia muncul tujuan besar untuk mewadahi Mahasiswa daerah dalam berkontribusi dalam pembanguan daerah, seperti Jargon yang diserukan di kabupaten Cilacap yaitu “Bangga Bangun Desa”.

Lambat laun ORMADA-ORMADA tersebut semakin besar namanya, Isu bahasa komunikasi sekarang bukan lagi menjadi fokus dari organisasi-organisasi tersebut. Ormada sekelas FORMASCAP UMY sekarang lebih fokus dalam hal yang lebih besar seperti peningkatan kompetensi kader, Isu tentang Pembangunan Daerah, dan beberapa isu yang sedang beredar dikabupaten Cilacap menjadi topik diskusi utama mereka. Anggota dari Formascap pun semakin meningkat kuantitasnya. Sekarang tidak hanya mahasiswa berdialek ngapak yang bergabung, tak jarang saya menemukan teman-teman berbahasa sunda yang ikut dalam kegiatan-kegiatan Formascap. Uniknya, saya masih saja mendengar Jargon “Ora ngapak Ora Kepenak” Barusan diucapkan oleh sang Jendral.

Lalu, “Apakah masih relevan Jargon  Ora ngapak ora kepenak kita gunakan dalam keberagaman ini?” sepertinya ini bisa jadi topik pembicaraan yang sangat menarik. Mungkin Kopi Kuali, Kopi Jahat, ataupun Ruins Caffe milik mas Abi bisa menjadi tempat yang paling cocok untk mendiskusikannya.

Komentar