SECANGKIR BERLIMA
Oleh : Payung Kertas Lipat

GPS dalam Gadget saya menunjukan bahwa saya telah sampai pada lokasi tujuan. Terlihat disebelah Kiri jalan terpampang Papan Nama bertuliskan “Kedai 24”, Sebuah Kedai kopi tempat yang saya sepakati untuk bertemu seorang teman. Tidak mau membuang waktu, saya parkirkan motor Smash biru milik saya. Sejenak saya berdiri didepan pintu masuk kedai tersebut, saya melihat ke seluruh penjuru tempat. Kedai itu Nampak tersusun rapi dengan meja - meja kayu yang sangat antik beserta ornamen-ornamen  Jawa kuno yang terpasang pada sudut-sudut dindingnya. Beberapa meja telah terisi oleh pengunjung. Ada yang datang beramai-ramai dengan kawan - kawanya saling bercengkrama, Ada yang datang berdua dengan pasangan, Ada juga yang duduk sendiri nampak terdiam resah melihat arloji ditangan kirinya. Mungkin dia sedang  menunggu kawanya datang. Disudut kiri kedai, Nampak seorang Barista tengah sibuk meracik kopinya. Seorang Waiter berjalan tepat didepanku membawa nampan berisikan Capucino dan kentang goreng, Nampaknya dia sedang mengantarkan pesanan untuk pengunjung yang duduk sendiri itu. Diantara keramaian manusia  yang aku lihat, Tak satupun terlihat orang yang kucari. Aku pun kembali membuka Aplikasi Whatsapp di handphone, Saya kirimkan pesan pada kawanku baru itu.
 “Mas, posisi?. Aku wis nang lokasi kiye” (Mas, posisi dimana? Saya sudah sampai dilokasi)  ucap saya dalam whatsapp.
Tak berselang lama, muncul notifikasi dalam handphone saya, pesan masuk darinya membalas,
“oke otw kiye broo… sabar ya wkwk” (oke otw nih broo… sabar ya wkwk) Ucapnya dalam pesan itu.
Setelah memastikan bahwa  dia belum berada dalam kedai, Saya kembali memandangi ruangan itu untuk mencari meja mana yang bisa saya tempati untuk berbincang dengannya. Mata saya tertuju pada sebuah meja Panjang dekat pengunjung yang berpasangan tadi. Tanpa pikir Panjang, Saya menuju ke meja tersebut, dan duduk dikursi ujung meja tersebut. Tak lama setelah saya duduk, Seorang pelayan menghampiri saya dan  memberikan sebuah daftar menu yang berarti saya dipersilahkan untuk memesan. Kemudian saya memesan segelah teh hangat. Sembari menunggu kawan saya datang, Saya menikmati teh hangat yang sudah saya pesan ditemani dengan rokok Sampoerna Mild yang saya kantongi disaku hoddie saya.
Detik berganti menit, tak terasa waktu sudah menunjukan pukul 20.15 WIB yang menunjukan bahwa sudah 30 menit lamanya saya menunggu. Saya adalah orang yang sangat tidak suka menunggu. Meski begitu, saya mencoba memaklumi keterlambatannya. Karena ini pertama kalinya saya nongkrong Bersama teman saya tersebut.
Nama teman itu adalah Hasbi. Saya bertemu dengannya disebuah WARMINDO dekat kampus. Ketika saya baru saja sampai di warung itu, Dia terus-menerusan memandangi Motor butut saya, ternyata dia melihat plat motor yang saya miliki R 5450 TT  memastikan bahwa saya berasal dari cilacap. Ternyata, Hasbi juga berasal dari kota yang sama dengan saya. Singkat cerita kami pun berkenalan dan saling bertukar nomor Whatsapp. Seminggu setelah pertemuan tersebut, Hasbi mengajak saya untuk nongkrong Bersama kawan – kawan nya asal Cilacap yang berkuliah dikampus yang sama dengan  kami. Berhubung pada malam ini saya tidak ada kegatan apapun, Saya pun menerima ajakan tersebut. Sesuai janji yang disepakati, saya pun datang tepat waktu datanag pukul 19.00 WIB. Namun, sampai sekarang  Hasbi dan kawan -kawannya tak kunjung datang.
Setelah 1 jam lamanya menunggu,  Datang lima orang bertubuh ramping dari arah pintu masuk. Salah satu dari mereka  memliki wajah yang cukup familir bagi saya, dia adalah Hasbi. Dengan kulit warna sawo matang, hidung mancung, dan rambut Panjang bergelombang. Sedangkan empat orang lainya cukup asing bagi saya. Saya pun melambaikan tangan padanya, Memberi tanda bahwa saya ada disini. Hasbi pun memandang saya, Dan mengangkat kedua alisnya tanda membalas lambaian tangan saya. Kemudian mereka mendekat, dan memberikan salam perjumpaan. Setelah berkenalan lebih lanjut, diketahui keempat orang yang  Bersama hasbi adalah Zaky, Fachry, Fikri, dan Sono. Ada satu hal yang membuat kita cukup bingung saat bersalaman dengan orang baru yaitu jenis salaman apa yang akan kita gunakan. Apakah saya harus salaman dengan gaya biasa untuk menunjukan kesopanan, ataukah harus dengan saling membenturkan kepalan tangan menunjukan sebuah keakraban atau dengan gaya- gaya  bersalaman lain yang sedikit banyak memiliki tujuan yang sama “Basa -basi”. Kebingungan tersebut membuatku sempat canggung untuk beberapa lama. Zaky yang menyadari kecanggungan parah yang saya rasakan, mencoba mencirkan suasana dengan membuka sebuah obrolan ringan.

“ hey Bro…. wis suwe yah nunggune ?? Sorry yaaa. Miki tukul ngenteni sono nyalon disit” ( hey Bro…. Sudah lama menunggu ?? Maaf yaa. Tadi harus menunggu Sono dandan dulu)  Celetuknya jenaka.

Kami berenam pun secara spontan menertawakan celetukan zakky. Dari celetukan itu, kemudian membuka banyak sekali obrolan dan diskusi diantara kami. Dari obrolan yang sangat sepele, Ketika uang bulanan Sono tak kunjung dikirim dari orang tuanya, uang SPP  yang tiap tahun makin naik, hingga obrolan  tentang kebijakan pemerintah tentang kenaikan harga BBM.
Ditengah obrolan kami, seorang pelayan wanita menghampiri kami. Ia menawarkan teman-teman saya yang belum memesan minum. Fikri yang berada paling dekat dengan pelayan tersebut kemudian memesan sebuah minuman.
“ Mba… kopi   tubru lanang satu ya mba.” Kata Fachri.
Pelayan tersebut membuka sebuah kertas kecil dan mencatat pesanan Fachri, kemudian kembali memandan pada kami dengan maksud menunggu pesanan dari keempat teman yang belum pesan. Setelah beberapa detik, keempat orang itu justru mengacuhkan pandangan si pelayan.
“ ada lagi…?” tanya si pelayan.
“ Udah Mbak, nggak ada” , Jawab Sono sambil Menggelengkan kepala.
“Baik terimakasih.” Kata si pelayan sembari meninggalan kami”
Saya yang pada saat itu sedang menghisap rokokku, tiba- tiba tersedak dengan ucapan sono. Heran saya dibuat nya.  Karena penasaran, saya pun melontarkan sebuah pertanyaan.
“ Deneng ora pada pesen koh, Bro?” (kok kalian nggak pesan?”  Tanya saya.
“Lah Uwis miki, apa ora ndeleng koe?” (lah sudah tadi, emangnya kamu nggak lihat?) Jawab Hasbi
“ Lah deneng kur kopi siji?” (Lah kok Cuma pesen kopi satu?)  Tanyaku semakin penasaran.
“Secangkir berlima bro,  nggo meningkatkan solidaritas. Tambah rame kopine tambah buket.” (Secangkir berlima bro, untuk meningkatkan solidaritas. Semakin ramai yang minum, samkin nikmat kopinya) Jawab zaky.
Aku dibuat semakin bingung dengan tingkah mereka setelah kopi datang. Benar saja. Kopi panas didalam cangkir  kecil itu benar-benr diminum lima orang itu secara bergantian. Anehnya setelah mereka menyeruput kopi itu bergantian, obrolan kami semakin hidup. Menggalih banyak sekali topik yang ada dalam masyarakat.
Malam itu aku mendapat banyak sekali ilm dan pengalaman. Dari meja kopi itu, mengantarkan saya kedalam meja-meja kopi lain dimalam lain Bersama kopi. Dan akhirnya ku paham makna mendalam dari istilah secangkir berlima. Dengan lima bibir yang  berbeda-beda bisa menyatu dalam pinggiran cangkir yang sama, sehingga mereka bisa menikmati kentalnya kopi panas Bersama. Begitupun dalam sebuah diskusi, dengan pola pikir dan pengetahuan yang berbeda-beda bisa membuahkan sebuah mufakat yang bisa diterima oleh semua kepala. Itu adalah toleransi dalam berdiskusi.


Komentar