Oleh : Payungkertaslipat
30 Ramadhan 1441 H
Langit senja nampak berwarna
jingga menyala,sekumpulan burung nampak terbang pulang kandang diantaranya.
Beberapa Driver Ojol berlalu-lalang ,
nampaknya menghantar menu buka puasa pelanggannya. Aku yang duduk merenung
sendiri meratapi duka yang aan datang menyambut di malam raya. Suara Adzan
Maghrib nampak terdengar sore itu, diikuti gema takbir yang saling bersautan
dari masjid ke masjid, mulut- kemulut dan hati – kehati. Hari ini adalah 30
ramadhan, dan esok adalah hari kemenangann “Idhul Fitri. Dukanya, Idul fitri hari ini mungkin tak
seindah seharusnya, tak semeriah biasanya, dan sebahagia tahun-tahun yang lewat.
17 Ramadhan 1441 H
Malam ini tak ada bintang yang
nampak menghias diangkasa sana. Langit namak tertutup awan abu, terlalu kelabu untuk aku yang
sedang rindu. Rindu pulang,bercengkrama dengan sanak keluarga. Rindu menghabiskan
senja dengan ayah. Diteras gubuk kecil kami menghabiskan rokok bersama, batang demi batang, ditemani kopi hitam buatan
ibu. Di tengah-tengah lamunan dalam ku, terdengar dering telefon dalam gadget ku. Rupanya telefon dari ibu. Mungkin ibu
juga rindu denganku, pikirku.
“Hallo Bu, Assalamualaikum” Ucapku mengangkat telefon
“Waalaikumsalam
Warahmatullahi Wabarakatuh. Priwe Kabare yu? Pada sehat mbok nang asrama ?” (Waalaikumsalam Warahmatullahi Wabarakatuh. Bagaimana
kabarnya, yu. Sehat-sehat kan di asrama?) Balas Ibu
“Alhamdulillah bu, sami sehat. Bapak -Ibu
pripun bu? Sami Sugeng?” (Alhamdulillah bu, sehat-
sehat, Bapak -Ibu bagaimana bu? Baik- baik saja?) Balasku
“Alhamdulillah yu,
pada sehat-sehat bae nangumah. Oiya yu, miki Pak Kadus bar sowan mengumah.
Ngewei anjuran koe kon aja bali disit. Soale kan lagi ana wabah, bahaya nek koe
bali.” (Alhamdulillah yu, ehat-sehat saja dirumah.
Oiya yu, tadi Pak Kadus bar sowan datang
kerumah.. memberikan anjuran kamu supaya jangan pulang dulu.. Soalnya kan
sedang ada wabah, bahaya kalo kamu pulang.) Ucap ibu padaku
“Tapi bu, Bayu
pengen wangsul. Kangen kaliyan Bapak-Ibu. Pengen riyoyo teng nggriyo” (Tapi bu, Bayu pengen pulang. Kangen sama Bapak-Ibu. Pengen lebaran dirumah) Balasku memelas.
“ Geh yu, ora usah
bali. Wis koe nang kono bae. Sing penting pada warase. Sing penting esih
komunikasi lewat HP” (Gini yu, gak usah pulang.
Udah kamu disitu saja. Yang penting kita sama sama sehat. Yang penting masih
bisa komunikasi lewat HP ) Ibu
mencoba meyakinkan ku
“Njjih bu, insha
allah Kulo mboten wangsul.” (Baik bu, insha allah
saya tidak pulang) Balasku
- .
-
Obrolanpun berlanjut panjang
lebar, membahas banyak sekali topik pembicaraan. Mulai dari kondisi dagangan
ibu yang sedang surut karena terdampak Corona,
kabar Mas Dani ( kakak ku) yang juga tidak puang kerumah, dan banyak hal
lainnya.
Dari Anjuran ibu untuk tidak
pulang lebih dulu, ada sedih mendalam yang ku rasakan. Ada rindu yang sudah
menggebu untuk segera di obati. Padang duka telah terbuka, dan aku ada
ditengah- tengahnya. Hari raya yang tak sebahagia biasanya. Tak ada lontong por
dan ke nastar khas lebar dikampung,
Wabah Covid 19 yang sedang
menerjang dunia, memang sangat memberi dampak. Membawa awan mendung pada duka
yang mendalam. Hari Raya kini tak lagi bisa diraya bersama, istilah PSBB dan
Lockdown bergema lebih nyaring daripada gema takbir mlama ini. Namun ma
bagaimana lagi, inilah keadaan yang terjadi, apa boleh buat lagi.
Dari padang duka, dari
ratapan-ratapan malam ini, dari wabah yang terjadi kita hanya bisa mengambil
hikmahnya. Mungkin ada duka yang tak sempat diampuni, mungkin ada kesalahan
yang tak sempat dimaafkan, dan ada lalai yang tak sempat diingatkan. Aku yang
sering lalai memberi kabar, diberi rindu yang teramat dalam pada keluarga.
Tersadar betapa dalamnya rasa cinta yang aku miliki pada mereka, yang mungkin tak kusadari
sebelumnya. Bahwa kita juga masih selalu harus berbenah, padang duka ini adalah
sebuah teguran perbaiki diri, perbanyak amal dan kurangi dosa. Selamat Hari
Raya Orang-orang terkasih, mohon maaaf atas segala salah. Untuk yang maha
kuasa, Mohon ampun atas segala dosa.
Komentar
Posting Komentar