Memakan Remukan Sarimi


 


Memakan Remukan Sarimi

“Terus rep nang ndi gye?” Tanya temanku yang berbadan tinggi seperti gedung pencakar langit.

“madang, koe wis madang rung?” aku mengajaknya makan setelah sekian jam berputar-putar dipusat perbelanjaan untuk sekedar mencari celana dan baju.

“yayuh, madang apa arep?” dia kembali bertanya.

“apa ya, angkringan baen ayuh.” Aku menyarankan.

“angkringan nang ndi?” sekali lagi dia bertanya, belum sempat aku menjawab pertanyaan itu dan sedang berpikir angkringan mana yang cocok untuk kami jajaki ketika sore hari dia menjawab

“angkringan yang enak ya yang dekat kampus itu,”

“ya wis menganah baen”

Akhirnya motor vixion dengan suara menggelegar yang dia masih gadang-gadang sebagai salah satu jenis moge melesat menembus kemacetan dan lampu merah melewati berbagai hiruk pikuk disekitarnya untuk menuju ke area kampus kami.

Setengah jam berlalu dan ternyata angkringan yang kami incar belum membuka lapaknya.

“wes mengkosan baen,” ajaku yang sedikit kesal karena sudah menempuh perjalanan yang cukup jauh hingga kakiku pegal karena posisi membonceng yang begitu –nyeni- karena design jok motor yang mengharuskan seperti itu.

Tiba dikosan membuatku semakin gregetan karena tidak ada air tidak ada makanan tidak ada kopi gula bahkan secuilpun jajan tidak ada Nampak. Yang Nampak hanyalah seonggok manusia hanya memakai celana panjang dan memegang rokok bagaikan pasien reaktif virus yang sedang merebak saat ini.

Mulutku memang tidak bisa diatur maka mencuatlah kalimat olokan

“jiangkrik, wedang ora ana, kopi ora ana, jajan ora ana, sing due kaya wong lagi positif c-19 haduh,” umpatku.

“gye tak isilah galone, aja rewel baen bar gye tek mangkat, nah kat mau langka motor,” belanya.

Dalam hatiku ini orang ga pengin minum apa gimana kok bisa-bisanya dalam sekian jam gallon kosong dan tidak ada satupun botol minum yang terisi bahkan tidak ada makanan.

Hampir 1 jam berlalu ketika aku menunggu, tak sabar sudah tubuhku ini menunggu. Aku mengambil telephone genggamku dan menanyainya.

“tuku mangan nang arab ?” tanyaku menyindir karena begitu lama.

“iya,” dengan santainya dia menjawab.

Tak lama berselang ada satu buah gallon berisi air penuh mendarat didepan pintu beserta 2 buah kresek besar berisi 3 bungkus makanan.

Aku tiba-tiba teringat sudah begitu lama aku tidak seperti ini. Aku menjadi kehilangan kemampuanku untuk memantik pembicaraan untuk menghangatkan suasana.

Jam menunjukan pukul 9 malam, 2 orang kembali datang menyusul untuk meramaikan suasana tapi lagi-lagi aku tak bisa mencairkan suasana. “inilah efeknya,” pikirku.

Akhirnya kami putuskan untuk bermain kartu dengan 4 orang pemain, satu orang akhirnya merasa terasingkan karena kami berempat sudah asik bermain kartu. Tidak ada cemilan yang menemani, mulut kami gatal untuk mengunya sesuatu karena dengan hanya merokok tidak mampu mengobatinya.

Uang patungan kami tadi masih tersisa beberapa lembar. Satu orang yang tidak bermain kartu kami minta untuk membelikan makanan, namun ada satu hal yang mengganjal ketika salah satu dari kami meminta untuk dibelikan jajan, tapi apa aku masih belum menyadari. Berkali-kali salah seorang dari kami meminta untuk dibelikan jajan. Hingga akhirnya aku menyadari satu hal kecil yang membuat semuanya menjadi terang. Ya satu hal kecil dalam seluruh kalimat itu. Ya kalimat meminta tolong dengan lembut.

Ya tidak ada satupun dari sekian kali kami meminta untuk dibelikan jajan terdapat kata minta tolong. Hal itu yang sedari tadi mengganjal.

“tuku jajan nganahlah, kan koe ora main,” dengan kalimat tersebut sontak siapapun tidak akan mau berangkat. Kalimat yang terlontar adalah kalimat perintah tegas. Layaknya komandan kepada pasukannya. Sedangkan yang terjadi saat ini adalah antara satu anggota keluarga dengan keluarga yang lain. Semua permasalahan dalam keluarga harusnyapun diselesaikan dengan cara kekeluargaan begitupun gaya komunikasi yang dipakaipun juga harus menyesuaikan dengan situasi dan kondisi. Terkecuali bapak kepada anaknya, hal itupun tidak sepenuhnya terjadi, karena sebagai kepala keluarga yang juga menyandang sosok sebagai seorang ayah akan mencoba mengajarkan berbagai hal kepada anaknya sehingga mampu untuk menerjang kehidupannya sendiri suatu saat ini. Maka sang ayah akan menggunakan kalimat yang lembut kepada anaknya.

Selain diksi yang dipakai dalam berkomunikasi intonasi nada, serta bahasa tubuh serta berbagai hal kompleks dalam konteks komunikasi juga perlu untuk diperhatikan. Karena hal itu akan mempengaruhi tafsiran yang akan diterima oleh orang yang kita ajak untuk komunikasi. Seperti halnya komunikasi melalui pesan singkat media social, tidak ada intonasi nada dan bahasa tubuh. Akibatnya seseorang yang menerima pesan tersebut bisa menafsirkan dengan berbagai macam makna mengikuti suasana hatinya saat itu. Mungkin ketika suasana hatinya sedang bagus maka akan dimaknai positif sebagai contoh “maksude apa?” jika kalimat tersebut diucapkan dengan intonasi rendah maka akan menjadi kalimat Tanya penuh dengan keingintahuan. Tapi jika digunakan dengan intonasi tinggi akan menjadi sebuah kalimat yang sering digunakan sebelum terjadinya baku hantam antara satu dengan yang lain.

Manusia merupakan salah satu mahluk social yang harus hidup berdampingan, saling membutuhkan antara satu dengan yang lain maka jangan segan untuk meminta tolong kepada orang lain. Karena dengan hanya meminta tolong tidak akan membuat harga diri seseorang jatuh atau terlihat lemah.

“kancani kae tuku jajan,” aku mencoba untuk menyarankan agar segera terbeli jajannya. Karena, aku juga ingin ngemil.

“mandeg disit berarti gye,”

“yaya,”

Akhirnya mereka berdua berangkat untuk membeli seplastik cemilan yang kami makan bersama-sama. Dan ada satu bungku sarimi didalamnya. Memang seperti itulah kebiasan kami, memakan sarimi tanpa harus direbus terlebih dahulu hanya diremukan lalu ditaburi bumbu sarimi.

“pantes laporanmu revisi baen, mangane ya sarimi diremuk,”

Semua orang tertawa terbahak-bahak, sembari melontarkan kalimat-kalimat saling mengolok.

Untung aku sendiri sudah lulus dari kampus tercintaku.

M.Muzakki

Komentar